Tampaknya kegelisahan penyelenggaraan pendidikan nasional mendorong Prof Dr Soedijarto MA, seorang pakar ilmu pendidikan yang puluhan tahun teguh dan istiqomah concern pada bidang pendidikan, untuk terus berpikir mencari apa yang salah dengan sistem pendidikan nasional kita sekaligus berupaya mencari format yang paling ideal.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan dan makalah disajikan dalam berbagai seminar mengenai kondisi pendidikan nasional. Buku dibuka dengan keprihatinan penulisnya betapa bangsa ini sangat jauh tertinggal dari bangsa lain. Dalam kondisi bangsa yang sering dilanda konflik, yang secara ekonomi jauh dari maju dan secara ilmu pengetahuan sangat bergantung pada dunia luar, sulit bagi Indonesia diperhitungkan dalam percaturan internasional. Bagi Prof Soedijarto, ketertinggalan ini sangat erat kaitannya dengan kepedulian pada bidang pendidikan. Terpuruknya kondisi negara-bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kondisi pendidikan nasional.
Semua negara yang kemudian menjadi negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, disusul Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, dan China, merupakan negara-negara yang memulai pembangunan dengan menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas utama. Amerika Serikat sejak Thomas Jefferson, Jerman sejak Otto von Bismarck, Britania Raya sejak King Arthur, Jepang sejak zaman Meiji. Negara maju adalah negara yang peduli pada pendidikan. Lebih lanjut ia berpendapat, belum cerdasnya kehidupan bangsa, belum majunya kebudayaan nasional, dan belum sejahteranya kehidupan rakyat, akarnya adalah masih rendahnya kualitas manusia.
Membaca uraian dan analisis Prof Soedijarto sungguh menyenangkan. Permasalahan pendidikan bangsa dipaparkan secara gamblang dengan bahasa yang mudah dipahami. Beragam topik yang dikupas dalam buku ini mencerminkan luasnya pengetahuan penulis. Kedalaman pembahasan tentu hanya dapat dicapai oleh seorang pengamat, pemerhati, pencinta, sekaligus pelaku pendidikan seperti dia. Penulis menelusup masuk ke hal-hal yang sifatnya sangat praktis, seperti karut-marutnya metode pembelajaran, salah kaprah pemaknaan ujian nasional sebagai mekanisme evaluasi pendidikan nasional; bahkan memasuki wilayah yang politis seperti memaparkan benang merah antara kegagalan sistem pendidikan nasional dan minimnya alokasi anggaran pendidikan.
Buku ini dibagi dalam lima bagian yang tematis. Pada bagian pertama, banyak diuraikan pokok-pokok pikirannya mengenai landasan dan visi pendidikan nasional. Landasan dan visi pendidikan nasional jelas tertulis dalam UUD 1945, yaitu Pancasila sebagai filsafat dasar dalam penyelenggaraan pendidikan nasional dan arahan pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Keluaran pendidikan yang diharapkan adalah lahirnya manusia-manusia Indonesia yang berkarakter, yaitu yang cerdas, religius, patriotik, humanis, dan memiliki rasa keadilan sosial yang tinggi.
Selanjutnya arahan pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa menohok pada pendidikan sebagai gerakan transformasi budaya Indonesia dari tradisional dan feodalistik menjadi budaya modern, rasional, demokratis, dan berorientasi kepada ilmu pengetahuan.
Sayang alih-alih mencerdaskan kehidupan bangsa, output dari sistem pendidikan yang dirancang dan diselenggarakan negara ini justru menimbulkan masalah dalam masyarakat. Beberapa kasus-kasus yang merugikan negara dan masyarakat seperti tindakan korupsi justru sering melibatkan orang-orang cerdas di negeri ini. Ini artinya pendidikan nasional sangat jauh dari landasan serta arahan yang diinginkan.
Bagian kedua dari buku ini banyak membahas mengenai kurikulum, sistem evaluasi, tenaga pendidik, dan metode pengajaran yang ideal dan sesuai dengan landasan serta arahan pendidikan nasional. Secara umum, kemampuan sistem pendidikan nasional suatu negara dalam menghasilkan output yang dapat mendukung lahirnya negara-bangsa yang kuat adalah mutu pendidikan yang tercermin pada proses transformasi ilmu di dalamnya. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mencakup dimensi nalar/akal, nilai, dan sikap.
Di Indonesia, yang menjadi perhatian penuh pemerintah adalah dimensi nalar/akal yang belum tentu berdampak pada pengembangan kemampuan intelektual, kematangan pribadi, serta kematangan moral dan karakter. Akibatnya yang terjadi adalah pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, tetapi sedikit sekali memberikan tempat pada nilai-nilai humanistik dan hati nurani.
Transformasi ilmu
Kelebihan buku ini terletak pada kemampuan memotret pentingnya ketiga dimensi tersebut dalam proses transformasi ilmu. Dalam Planning Instruction for Adult Learner, Patricia Canton menuliskan bahwa pendidikan yang ideal, yang berbasis pada perspektif orang dewasa, merupakan proses pendidikan yang berbasis tiga hal, yaitu cognitive domain, affective domain, dan psycomotor domain.
Indonesia selama ini belum dirancang dan diselenggarakan sebagai pusat pembudayaan segala kemampuan, nilai dan sikap manusia modern, melainkan hanya diposisikan sebagai tempat mendengar, mencatat, dan menghafal. Pendidikan yang seperti ini dinilai tidak mampu membantu peserta didik mencapai tingkatan kepribadian yang mantap dan mandiri. Seharusnya proses pembelajaran memungkinkan peserta didik menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya dan berkesempatan berinteraksi secara aktif sehingga dapat menemukan dirinya.
Model pembelajaran seperti ini hanya dapat berlangsung dengan tenaga guru yang memadai, materi yang terpilih dan waktu yang cukup tanpa harus mengejar target ujian nasional. Evaluasi pendidikan yang berupa evaluasi hasil belajar seperti UAN tidak dapat diharapkan akan mencapai tujuan pendidikan nasional. Biasanya tingkah laku peserta didik akan dipengaruhi oleh materi yang akan diujikan. Jika yang diujikan adalah penguasaan pengetahuan yang telah dihapal, mereka hanya akan belajar materi yang akan diujikan. Akibatnya, mereka akan mengabaikan berbagai kegiatan belajar yang tidak akan diujikan, seperti belajar mengapresiasikan bakat, belajar berdemokrasi, dan berbagai proses belajar yang bermakna transformasi budaya.
Bagian ketiga adalah tulisan- tulisan beliau mengenai peranan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, dalam pembangunan bangsa. Bab ini menggambarkan tinjauan historis kemunculan institusi pendidikan universitas di berbagai negara yang selanjutnya berperan penting dalam proses pembangunan. Peran ini belum tampak pada universitas di Indonesia, terutama dalam pemecahan masalah-masalah nasional maupun internasional. Dalam buku ini disebutkan, penyebab utama ketidakmampuan universitas sebagai problem solving lagi-lagi terkait dengan metode pembelajaran.
Bagian keempat berisikan kumpulan artikel beliau mengenai pendidikan demokrasi yang dikaitkan dengan peran keluarga dan materi pendidikan. Pada bagian ini, penulis memaparkan secara apik bagaimana peranan pendidikan dalam sebuah keluarga dalam membangun negara bangsa yang demokratis.
Bagian kelima berisi tulisan- tulisan yang mengulas keterkaitan dukungan dana dan terselenggaranya sistem pendidikan nasional yang dapat mencerdaskan kehidupan bangsa. Berkaca dari negara-negara di dunia, semua negara maju mengalokasikan anggaran pendidikan yang memadai. Alokasi anggaran pendidikan Belanda adalah 7 persen dari PDB atau sekitar 37 persen dari APBN, India 5,1 persen dari PDB, Malaysia 5,2 persen dari PDB, Brunei 4,4 persen dari PDB, Vietnam 2,8 persen dari PDB, Jepang 7 persen dari PDB, dan Thailand 5 persen dari PDB. Indonesia merupakan yang terendah, hanya 1,4 persen dari PDB. Sebenarnya ketentuan tentang pembiayaan pendidikan ini telah tertulis dalam Undang-Undang Dasar. Namun, dibutuhkan komitmen yang kuat untuk melaksanakannya, menyatukan visi para founding father dengan tindakan nyata.
Ketika salah satu ”tuntutan” buku ini agar ketentuan konstitusi mengenai anggaran pendidikan dipenuhi telah disanggupi oleh pemerintah, akan segera tampak bahwa perjalanan pendidikan ke depan akan ditentukan oleh konsistensi atas landasan dan arah pendidikan yang benar sebagaimana inti buku ini.
Dalam kerangka itu, buku ini menjadi penting untuk dibaca dan dijadikan rujukan.
Slamet Effendy Yusuf Ketua Kaukus Anggota DPR untuk Anggaran Pendidikan Minimal 20 Persen
SUMBER :: Senin, 20 Oktober 2008 | 02:42 WIB
Semua negara yang kemudian menjadi negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, disusul Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, dan China, merupakan negara-negara yang memulai pembangunan dengan menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas utama. Amerika Serikat sejak Thomas Jefferson, Jerman sejak Otto von Bismarck, Britania Raya sejak King Arthur, Jepang sejak zaman Meiji. Negara maju adalah negara yang peduli pada pendidikan. Lebih lanjut ia berpendapat, belum cerdasnya kehidupan bangsa, belum majunya kebudayaan nasional, dan belum sejahteranya kehidupan rakyat, akarnya adalah masih rendahnya kualitas manusia.
Membaca uraian dan analisis Prof Soedijarto sungguh menyenangkan. Permasalahan pendidikan bangsa dipaparkan secara gamblang dengan bahasa yang mudah dipahami. Beragam topik yang dikupas dalam buku ini mencerminkan luasnya pengetahuan penulis. Kedalaman pembahasan tentu hanya dapat dicapai oleh seorang pengamat, pemerhati, pencinta, sekaligus pelaku pendidikan seperti dia. Penulis menelusup masuk ke hal-hal yang sifatnya sangat praktis, seperti karut-marutnya metode pembelajaran, salah kaprah pemaknaan ujian nasional sebagai mekanisme evaluasi pendidikan nasional; bahkan memasuki wilayah yang politis seperti memaparkan benang merah antara kegagalan sistem pendidikan nasional dan minimnya alokasi anggaran pendidikan.
Buku ini dibagi dalam lima bagian yang tematis. Pada bagian pertama, banyak diuraikan pokok-pokok pikirannya mengenai landasan dan visi pendidikan nasional. Landasan dan visi pendidikan nasional jelas tertulis dalam UUD 1945, yaitu Pancasila sebagai filsafat dasar dalam penyelenggaraan pendidikan nasional dan arahan pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Keluaran pendidikan yang diharapkan adalah lahirnya manusia-manusia Indonesia yang berkarakter, yaitu yang cerdas, religius, patriotik, humanis, dan memiliki rasa keadilan sosial yang tinggi.
Selanjutnya arahan pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa menohok pada pendidikan sebagai gerakan transformasi budaya Indonesia dari tradisional dan feodalistik menjadi budaya modern, rasional, demokratis, dan berorientasi kepada ilmu pengetahuan.
Sayang alih-alih mencerdaskan kehidupan bangsa, output dari sistem pendidikan yang dirancang dan diselenggarakan negara ini justru menimbulkan masalah dalam masyarakat. Beberapa kasus-kasus yang merugikan negara dan masyarakat seperti tindakan korupsi justru sering melibatkan orang-orang cerdas di negeri ini. Ini artinya pendidikan nasional sangat jauh dari landasan serta arahan yang diinginkan.
Bagian kedua dari buku ini banyak membahas mengenai kurikulum, sistem evaluasi, tenaga pendidik, dan metode pengajaran yang ideal dan sesuai dengan landasan serta arahan pendidikan nasional. Secara umum, kemampuan sistem pendidikan nasional suatu negara dalam menghasilkan output yang dapat mendukung lahirnya negara-bangsa yang kuat adalah mutu pendidikan yang tercermin pada proses transformasi ilmu di dalamnya. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mencakup dimensi nalar/akal, nilai, dan sikap.
Di Indonesia, yang menjadi perhatian penuh pemerintah adalah dimensi nalar/akal yang belum tentu berdampak pada pengembangan kemampuan intelektual, kematangan pribadi, serta kematangan moral dan karakter. Akibatnya yang terjadi adalah pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, tetapi sedikit sekali memberikan tempat pada nilai-nilai humanistik dan hati nurani.
Transformasi ilmu
Kelebihan buku ini terletak pada kemampuan memotret pentingnya ketiga dimensi tersebut dalam proses transformasi ilmu. Dalam Planning Instruction for Adult Learner, Patricia Canton menuliskan bahwa pendidikan yang ideal, yang berbasis pada perspektif orang dewasa, merupakan proses pendidikan yang berbasis tiga hal, yaitu cognitive domain, affective domain, dan psycomotor domain.
Indonesia selama ini belum dirancang dan diselenggarakan sebagai pusat pembudayaan segala kemampuan, nilai dan sikap manusia modern, melainkan hanya diposisikan sebagai tempat mendengar, mencatat, dan menghafal. Pendidikan yang seperti ini dinilai tidak mampu membantu peserta didik mencapai tingkatan kepribadian yang mantap dan mandiri. Seharusnya proses pembelajaran memungkinkan peserta didik menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya dan berkesempatan berinteraksi secara aktif sehingga dapat menemukan dirinya.
Model pembelajaran seperti ini hanya dapat berlangsung dengan tenaga guru yang memadai, materi yang terpilih dan waktu yang cukup tanpa harus mengejar target ujian nasional. Evaluasi pendidikan yang berupa evaluasi hasil belajar seperti UAN tidak dapat diharapkan akan mencapai tujuan pendidikan nasional. Biasanya tingkah laku peserta didik akan dipengaruhi oleh materi yang akan diujikan. Jika yang diujikan adalah penguasaan pengetahuan yang telah dihapal, mereka hanya akan belajar materi yang akan diujikan. Akibatnya, mereka akan mengabaikan berbagai kegiatan belajar yang tidak akan diujikan, seperti belajar mengapresiasikan bakat, belajar berdemokrasi, dan berbagai proses belajar yang bermakna transformasi budaya.
Bagian ketiga adalah tulisan- tulisan beliau mengenai peranan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, dalam pembangunan bangsa. Bab ini menggambarkan tinjauan historis kemunculan institusi pendidikan universitas di berbagai negara yang selanjutnya berperan penting dalam proses pembangunan. Peran ini belum tampak pada universitas di Indonesia, terutama dalam pemecahan masalah-masalah nasional maupun internasional. Dalam buku ini disebutkan, penyebab utama ketidakmampuan universitas sebagai problem solving lagi-lagi terkait dengan metode pembelajaran.
Bagian keempat berisikan kumpulan artikel beliau mengenai pendidikan demokrasi yang dikaitkan dengan peran keluarga dan materi pendidikan. Pada bagian ini, penulis memaparkan secara apik bagaimana peranan pendidikan dalam sebuah keluarga dalam membangun negara bangsa yang demokratis.
Bagian kelima berisi tulisan- tulisan yang mengulas keterkaitan dukungan dana dan terselenggaranya sistem pendidikan nasional yang dapat mencerdaskan kehidupan bangsa. Berkaca dari negara-negara di dunia, semua negara maju mengalokasikan anggaran pendidikan yang memadai. Alokasi anggaran pendidikan Belanda adalah 7 persen dari PDB atau sekitar 37 persen dari APBN, India 5,1 persen dari PDB, Malaysia 5,2 persen dari PDB, Brunei 4,4 persen dari PDB, Vietnam 2,8 persen dari PDB, Jepang 7 persen dari PDB, dan Thailand 5 persen dari PDB. Indonesia merupakan yang terendah, hanya 1,4 persen dari PDB. Sebenarnya ketentuan tentang pembiayaan pendidikan ini telah tertulis dalam Undang-Undang Dasar. Namun, dibutuhkan komitmen yang kuat untuk melaksanakannya, menyatukan visi para founding father dengan tindakan nyata.
Ketika salah satu ”tuntutan” buku ini agar ketentuan konstitusi mengenai anggaran pendidikan dipenuhi telah disanggupi oleh pemerintah, akan segera tampak bahwa perjalanan pendidikan ke depan akan ditentukan oleh konsistensi atas landasan dan arah pendidikan yang benar sebagaimana inti buku ini.
Dalam kerangka itu, buku ini menjadi penting untuk dibaca dan dijadikan rujukan.
Slamet Effendy Yusuf Ketua Kaukus Anggota DPR untuk Anggaran Pendidikan Minimal 20 Persen
SUMBER :: Senin, 20 Oktober 2008 | 02:42 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar