Minggu, 13 Maret 2011

Kapolri Baru dan Harapan Publik ( Tema 8 : Manusia dan Harapan

Tak lama lagi, tepatnya pada Oktober 2010, Kepala Polri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri akan memasuki masa pensiun. Sejumlah kandidat mulai muncul dan menjadi wacana publik, siapakah orang yang tepat menjadi kepala Kepolisian Negara RI baru dan mampukah dia memulihkan citra Kepolisian Republik Indonesia?
Pada akhir masa kerjanya, Kapolri saat ini masih meninggalkan banyak pekerjaan rumah. Salah satunya adalah memulihkan kembali citra Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang mulai kehilangan kepercayaan di muka publik karena berbagai permasalahan yang baru-baru ini menerpa, di antaranya kasus Anggodo dan dibukanya kembali kasus Bibit Samad Riyanto-Chandra Hamzah, kasus rekening gendut, penanganan terorisme, serta kasus Susno Duadji.
Setelah berpisah dengan TNI (ABRI) pada tahun 2002, Polri diharapkan menjadi institusi yang lebih profesional, menghormati, dan mengadopsi nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari. Harapan publik juga meninggi agar institusi Polri mampu mengambil peran yang sangat penting dalam ranah penegakan hukum dan menjaga stabilitas keamanan.
Jabatan kapolri tentu merupakan posisi yang sangat penting. Terlebih pasca-Polri langsung di bawah tanggung jawab presiden, posisi kapolri semakin strategis dan diharapkan menjadi komandan bagi institusi kepolisian yang menjadi garda terdepan dalam fungsi penegakan dan perlindungan hukum. Reformasi Polri yang tengah dijalankan masih terbatas pada upaya pembenahan yang bersifat struktural dan instrumental, sementara pembenahan kultural masih sangat jauh dari ideal.
Harapan tersebut setidaknya terjawab oleh beberapa kemajuan yang telah dihasilkan oleh Polri, di antaranya penerbitan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 yang menjadi penanda bahwa institusi ini mulai mengakui dan mewajibkan anggotanya memerhatikan prinsip-prinsip HAM dalam pelaksanaan tugas.
Absennya akuntabilitas
Namun, sepanjang tahun 2009-2010, akuntabilias Polri di mata publik justru semakin menurun. Indikator yang muncul tidak lain berasal dari internal Polri sendiri, di antaranya dugaan terjadinya tindak kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan. Hal yang paling menonjol pada pertengahan tahun ini adalah dugaan korupsi atau dikenal dengan rekening gendut sebagaimana pernah diterbitkan majalahTempo edisi 4 Juli 2010.
Kepercayaan publik semakin terpuruk setelah munculnya kasus Susno Duadji, seorang perwira bintang tiga sekaligus mantan kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) yang sangat menyita perhatian publik berikut media cetak dan elektronik. Susno mulai memunculkan kontroversi publik setelah menyulut ”perang urat saraf” antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selanjutnya dikenal luas oleh publik dengan istilah ”Cicak Vs Buaya”.
Kasus yang kemudian menyeret Bibit-Chandra justru menempatkan institusi Polri pada situasi yang kurang menguntungkan. Publik justru menilai bahwa Polri tidak tegas pada penanganan kasus Anggoro, melalui konsolidasi dunia maya, publik mampu menjadikan kasus ini berdimensi politik, parafacebooker mampu menggalang dukungan untuk penuntasan kasus ini, terlepas benar atau tidaknya dakwaan polisi terhadap pimpinan KPK Bibit-Chandra, jelas publik melihat keganjilan di balik kasus ini.
Di tahun ini, salah satu kinerja Polri yang cukup menonjol adalah penanganan terorisme. Setidaknya, upaya ini patut kita apresiasi, mengingat aksi terorisme menebar kecemasan publik. Salah satu prestasi Polri dalam penanganan terorisme adalah keberhasilan melumpuhkan salah satu gembong teroris yang dianggap paling berbahaya, yaitu Noordin M Top. Namun demikian, cukup disayangkan bahwa Polri masih menggunakan metode kekerasan dan cara-cara yang mematikan untuk melumpuhkan aksi-aksi terorisme. Tidak jarang, Polri menembak para pelaku teroris, bahkan ditengarai terdapat aksi penyergapan yang kurang didukung oleh prosedur hukum yang layak.
Semestinya, meski bentuknya perang melawan terorisme, Polri tetap harus menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM, terlebih khusus adalah hak asasi yang masuk kategori hak yang tidak bisa dikurangi atau non-derogable rights.
Hak-hak, seperti hak untuk hidup, tidak disiksa, dan tidak ditahan secara sewenang-wenang, tentu merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dari manusia, bahkan nilai ini telah menjadi aturan yang diadopsi oleh Pemerintah Indonesia, di antaranya termanifestasi dalam UUD 1945 Pasal 28 huruf I dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.
Selanjutnya, persoalan yang juga menurunkan citra Polri adalah intervensi Polri dalam agenda masyarakat sipil, seperti pembubaran acara oleh pihak kepolisian, ironisnya didasarkan atas paksaan dan permintaan kelompok-kelompok yang mengusung identitas keagamaan dan keyakinan tertentu. Seperti kasus pembubaran ibadah jemaah Gereja HKBP di Bekasi, kemudian pembubaran paksa acara kunjungan kerja sosialisasi Pelayanan Kesehatan dan Kebijakan ketenagakerjaan yang dilakukan oleh Komisi IX bidang kesehatan DPR di Banyuwangi, Jawa Timur, baru-baru ini.
Calon kapolri baru
Di tengah citra Kepolisian Negara Republik Indonesia yang meredup, momentum pergantian kapolri pada Oktober mendatang diharapkan menjadi pemicu upaya mendorong reformasi di tubuh Polri. Tentu tidak hanya itu, harapan publik untuk memiliki Polri yang lebih profesional, menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia, dan mampu menjadi pilar demokrasi adalah tantangan yang harus direalisasikan oleh kapolri baru.
Tentu harapan tersebut tidak berlebihan, mengingat beberapa bagian dalam criminal justice system yang kita miliki saat ini juga mengalami kemerosotan. Institusi kejaksaan dan peradilan saat ini adalah institusi yang paling disorot oleh publik. Berbagai persoalan hukum yang menjerat aparat kejaksaan dan mekanisme peradilan yang tidak efektif untuk menjerat koruptor, pelanggar HAM, dan pelaku kejahatan lainnya tentu menjadi tantangan bagi kapolri baru untuk setidaknya memulai perbaikan kualitas hukum kita, dimulai dari institusi kepolisian.
Namun, publik lagi-lagi harus berharap-harap cemas, hingga saat ini, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang memiliki fungsi untuk melakukan seleksi terhadap calon kapolri belum juga membuka ruang partisipasi publik untuk mengkritisi para calon kapolri yang diusulkan.
Di sisi lain, DPR juga belum menentukan mekanisme uji publik yang terbuka dan melibatkan partisipasi publik. Padahal, partisipasi publik menjadi penting untuk menghindari ruang politisasi, kepentingan terselubung, ataupun politik uang yang mungkin muncul dalam proses ini.
Untuk itu, patut kita tunggu mungkinkah dalam waktu yang tidak lebih dari 1,5 bulan Kompolnas, DPR, dan Presiden RI mampu memunculkan kapolri baru sesuai harapan publik. Mari kita sama-sama nantikan.
*Chrisbiantoro Penulis adalah Anggota Badan Pekerja KontraS

sumber : Selasa, 31 Agustus 2010 | 08:47 WIB

Tentang Pendidikan yang Memprihatinkan ( Tema 7 : Manusia dan Kegelisahan )

Tampaknya kegelisahan penyelenggaraan pendidikan nasional mendorong Prof Dr Soedijarto MA, seorang pakar ilmu pendidikan yang puluhan tahun teguh dan istiqomah concern pada bidang pendidikan, untuk terus berpikir mencari apa yang salah dengan sistem pendidikan nasional kita sekaligus berupaya mencari format yang paling ideal.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan dan makalah disajikan dalam berbagai seminar mengenai kondisi pendidikan nasional. Buku dibuka dengan keprihatinan penulisnya betapa bangsa ini sangat jauh tertinggal dari bangsa lain. Dalam kondisi bangsa yang sering dilanda konflik, yang secara ekonomi jauh dari maju dan secara ilmu pengetahuan sangat bergantung pada dunia luar, sulit bagi Indonesia diperhitungkan dalam percaturan internasional. Bagi Prof Soedijarto, ketertinggalan ini sangat erat kaitannya dengan kepedulian pada bidang pendidikan. Terpuruknya kondisi negara-bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kondisi pendidikan nasional.
Semua negara yang kemudian menjadi negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, disusul Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, dan China, merupakan negara-negara yang memulai pembangunan dengan menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas utama. Amerika Serikat sejak Thomas Jefferson, Jerman sejak Otto von Bismarck, Britania Raya sejak King Arthur, Jepang sejak zaman Meiji. Negara maju adalah negara yang peduli pada pendidikan. Lebih lanjut ia berpendapat, belum cerdasnya kehidupan bangsa, belum majunya kebudayaan nasional, dan belum sejahteranya kehidupan rakyat, akarnya adalah masih rendahnya kualitas manusia.
Membaca uraian dan analisis Prof Soedijarto sungguh menyenangkan. Permasalahan pendidikan bangsa dipaparkan secara gamblang dengan bahasa yang mudah dipahami. Beragam topik yang dikupas dalam buku ini mencerminkan luasnya pengetahuan penulis. Kedalaman pembahasan tentu hanya dapat dicapai oleh seorang pengamat, pemerhati, pencinta, sekaligus pelaku pendidikan seperti dia. Penulis menelusup masuk ke hal-hal yang sifatnya sangat praktis, seperti karut-marutnya metode pembelajaran, salah kaprah pemaknaan ujian nasional sebagai mekanisme evaluasi pendidikan nasional; bahkan memasuki wilayah yang politis seperti memaparkan benang merah antara kegagalan sistem pendidikan nasional dan minimnya alokasi anggaran pendidikan.
Buku ini dibagi dalam lima bagian yang tematis. Pada bagian pertama, banyak diuraikan pokok-pokok pikirannya mengenai landasan dan visi pendidikan nasional. Landasan dan visi pendidikan nasional jelas tertulis dalam UUD 1945, yaitu Pancasila sebagai filsafat dasar dalam penyelenggaraan pendidikan nasional dan arahan pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Keluaran pendidikan yang diharapkan adalah lahirnya manusia-manusia Indonesia yang berkarakter, yaitu yang cerdas, religius, patriotik, humanis, dan memiliki rasa keadilan sosial yang tinggi.
Selanjutnya arahan pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa menohok pada pendidikan sebagai gerakan transformasi budaya Indonesia dari tradisional dan feodalistik menjadi budaya modern, rasional, demokratis, dan berorientasi kepada ilmu pengetahuan.
Sayang alih-alih mencerdaskan kehidupan bangsa, output dari sistem pendidikan yang dirancang dan diselenggarakan negara ini justru menimbulkan masalah dalam masyarakat. Beberapa kasus-kasus yang merugikan negara dan masyarakat seperti tindakan korupsi justru sering melibatkan orang-orang cerdas di negeri ini. Ini artinya pendidikan nasional sangat jauh dari landasan serta arahan yang diinginkan.
Bagian kedua dari buku ini banyak membahas mengenai kurikulum, sistem evaluasi, tenaga pendidik, dan metode pengajaran yang ideal dan sesuai dengan landasan serta arahan pendidikan nasional. Secara umum, kemampuan sistem pendidikan nasional suatu negara dalam menghasilkan output yang dapat mendukung lahirnya negara-bangsa yang kuat adalah mutu pendidikan yang tercermin pada proses transformasi ilmu di dalamnya. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mencakup dimensi nalar/akal, nilai, dan sikap.
Di Indonesia, yang menjadi perhatian penuh pemerintah adalah dimensi nalar/akal yang belum tentu berdampak pada pengembangan kemampuan intelektual, kematangan pribadi, serta kematangan moral dan karakter. Akibatnya yang terjadi adalah pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, tetapi sedikit sekali memberikan tempat pada nilai-nilai humanistik dan hati nurani.
Transformasi ilmu
Kelebihan buku ini terletak pada kemampuan memotret pentingnya ketiga dimensi tersebut dalam proses transformasi ilmu. Dalam Planning Instruction for Adult Learner, Patricia Canton menuliskan bahwa pendidikan yang ideal, yang berbasis pada perspektif orang dewasa, merupakan proses pendidikan yang berbasis tiga hal, yaitu cognitive domain, affective domain, dan psycomotor domain.
Indonesia selama ini belum dirancang dan diselenggarakan sebagai pusat pembudayaan segala kemampuan, nilai dan sikap manusia modern, melainkan hanya diposisikan sebagai tempat mendengar, mencatat, dan menghafal. Pendidikan yang seperti ini dinilai tidak mampu membantu peserta didik mencapai tingkatan kepribadian yang mantap dan mandiri. Seharusnya proses pembelajaran memungkinkan peserta didik menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya dan berkesempatan berinteraksi secara aktif sehingga dapat menemukan dirinya.
Model pembelajaran seperti ini hanya dapat berlangsung dengan tenaga guru yang memadai, materi yang terpilih dan waktu yang cukup tanpa harus mengejar target ujian nasional. Evaluasi pendidikan yang berupa evaluasi hasil belajar seperti UAN tidak dapat diharapkan akan mencapai tujuan pendidikan nasional. Biasanya tingkah laku peserta didik akan dipengaruhi oleh materi yang akan diujikan. Jika yang diujikan adalah penguasaan pengetahuan yang telah dihapal, mereka hanya akan belajar materi yang akan diujikan. Akibatnya, mereka akan mengabaikan berbagai kegiatan belajar yang tidak akan diujikan, seperti belajar mengapresiasikan bakat, belajar berdemokrasi, dan berbagai proses belajar yang bermakna transformasi budaya.
Bagian ketiga adalah tulisan- tulisan beliau mengenai peranan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, dalam pembangunan bangsa. Bab ini menggambarkan tinjauan historis kemunculan institusi pendidikan universitas di berbagai negara yang selanjutnya berperan penting dalam proses pembangunan. Peran ini belum tampak pada universitas di Indonesia, terutama dalam pemecahan masalah-masalah nasional maupun internasional. Dalam buku ini disebutkan, penyebab utama ketidakmampuan universitas sebagai problem solving lagi-lagi terkait dengan metode pembelajaran.
Bagian keempat berisikan kumpulan artikel beliau mengenai pendidikan demokrasi yang dikaitkan dengan peran keluarga dan materi pendidikan. Pada bagian ini, penulis memaparkan secara apik bagaimana peranan pendidikan dalam sebuah keluarga dalam membangun negara bangsa yang demokratis.
Bagian kelima berisi tulisan- tulisan yang mengulas keterkaitan dukungan dana dan terselenggaranya sistem pendidikan nasional yang dapat mencerdaskan kehidupan bangsa. Berkaca dari negara-negara di dunia, semua negara maju mengalokasikan anggaran pendidikan yang memadai. Alokasi anggaran pendidikan Belanda adalah 7 persen dari PDB atau sekitar 37 persen dari APBN, India 5,1 persen dari PDB, Malaysia 5,2 persen dari PDB, Brunei 4,4 persen dari PDB, Vietnam 2,8 persen dari PDB, Jepang 7 persen dari PDB, dan Thailand 5 persen dari PDB. Indonesia merupakan yang terendah, hanya 1,4 persen dari PDB. Sebenarnya ketentuan tentang pembiayaan pendidikan ini telah tertulis dalam Undang-Undang Dasar. Namun, dibutuhkan komitmen yang kuat untuk melaksanakannya, menyatukan visi para founding father dengan tindakan nyata.
Ketika salah satu ”tuntutan” buku ini agar ketentuan konstitusi mengenai anggaran pendidikan dipenuhi telah disanggupi oleh pemerintah, akan segera tampak bahwa perjalanan pendidikan ke depan akan ditentukan oleh konsistensi atas landasan dan arah pendidikan yang benar sebagaimana inti buku ini.
Dalam kerangka itu, buku ini menjadi penting untuk dibaca dan dijadikan rujukan.
Slamet Effendy Yusuf Ketua Kaukus Anggota DPR untuk Anggaran Pendidikan Minimal 20 Persen

SUMBER :: Senin, 20 Oktober 2008 | 02:42 WIB 

Arsitek Punya Tanggung Jawab Moral ( Tema 6 : Manusia dan Tanggung Jawab )

Mahasiswa dan akademisi perguruan tinggi harus diajar untuk turut memikirkan upaya-upaya sederhana dalam rangka mengurangi dampak pemanasan global. Terutama pada arsitek lulusan perguruan tinggi sebagai pelaku aktif industri bangunan yang dinilai memiliki kewajiban moral untuk turut serta mengurangi dampak pemanasan global dan diharapkan memegang komitmen pada konsep green architecture.
Demikian hal itu mengemuka diskusi bertema Peran Arsitektur dalam Pembangunan Berkelanjutan-Studi Kasus: Tinjauan Kota Jakarta, Kamis (11/11/2010) di Jakarta. Diskusi tersebut digelar sebagai bagian dari program Bumi Hijaumu Action @Campus sebagai program bersama Mortar Utama dan Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Universitas Indonesia. Diskusi menghadirkan pembicara antara lain Prof. Dr. Emil Salim, Prof. Dr. Abimanyu TA. MSi dari Universitas Indonesia, Ir Suryono Herlambang, Ketua Jurusan Planologi di Universitas Tarumanegara
General Manager Mortar Utama Anton Ginting mengungkapkan, kegiatan ini dimaksudkan untuk mengajak semua pihak di perguruan tinggi menjadi bagian dari kampanye integral green architecture. Untuk itu, aktifitas edukasi green architecture yang dilakukan selama road show di kampus-kampus sepanjang tahun ini ditekankan mulai tahap proses implementasi, baik dari sisi desain, maupun material yang digunakan.
"Sumbangan rekayasa dan industri bangunan terhadap proses perusakan lingkungan cukup signifikan. Perusakan ekologi di mulai sejak tahap konstruksi, penggunaan material besar-besaran secara ilegal hingga operasional bangunan modern dipastikan telah memproduksi racun, karbon dan limbah yang terabaikan manajemen pemeliharaanya," ujar Anton.
Untuk itu, kata dia, arsitek atau perancang sebagai pelaku aktif industri bangunan memiliki kewajiban moral untuk turut serta mengurangi dampak pemanasan global. Arsitek diharapkan memegang komitmen pada green architecture, yaitu mampu menolak tarikan pasar serta membuat inovasi dan kreativitas dalam perancangan bangunan tanpa merusak lingkungan.
“Sehingga kami perlu menggagas inisiatif ini untuk membentuk kepedulian, keterlibatan, hingga pemahaman akan isu yang diakhiri dengan perubahan perilaku yang mendukung inisiatif hijau ini di perguruan-perguruan tinggi,” kata Anton.
Adapun Bumi Hijaumu Action @Campus merupakan salah satu wujud program tanggung jawab sosial Mortar Utama untuk turut serta mengajak semua pihak, pemerintah, akademisi, mahasiswa, profesional, tukang, kontraktor, media dan masyarakat umum untuk melakukan upaya-upaya sederhana secara bersama-sama untuk mengurangi penyebab pemanasan global yang disebabkan oleh perbuatan manusia.
Tahun ini, program internal yang dilakukan oleh seluruh karyawan dan jaringan kerja Mortar Utama digelar secara berkesinambungan dan terukur berupa program edukasi masyarakat dengan cara road show ke universitas-universitas terkemuka di Indonesia, mengadakan berbagai green competition yang diikuti kalangan akademisi dan umum, serta pameran-pameran yang dilakukan ke berbagai perkantoran, serta pendidikan bagi para tukang-tukang terlatih.

Sabtu, 05 Maret 2011

Pendidikan Berbasis Karakter ( Tema 5 : Manusia dan Pandangan Hidup )

Pendidikan berbasis karakter akan menunjukkan jati dirinya sebagai manusia yang sadar diri sebagai makhluk, manusia, warga negara, dan pria atau wanita. Kesadaran itu dijadikan ukuran martabat dirinya sehingga berpikir obyektif, terbuka, dan kritis, serta memiliki harga diri yang tidak mudah memperjualbelikan. Sosok dirinya tampak memiliki integritas, kejujuran, kreativitas, dan perbuatannya menunjukkan produktivitas.
Selain itu, tidak hanya menyadari apa tugasnya dan bagaimana mengambil sikap terhadap berbagai jenis situasi permasalahan, tetapi juga akan menghadapi kehidupan dengan penuh kesadaran, peka terhadap nilai keramahan sosial, dan dapat bertanggung jawab atas tindakannya.


Pembentukan pribadi
Karena itu, sekolah yang akan mengimplementasikan pendidikan berbasis karakter dapat memikirkan segi-segi sebagai berikut. Pertama, keberhasilan pendidikan berbasis karakter terkait dengan kondisi peserta didik yang landasan keluarganya mengharapkan tercipta iklim kehidupan dengan norma kebaikan dan tanggung jawab. Dengan demikian, fungsi pendidikan berbasis karakter untuk menunjukkan kesadaran normatif peserta didik, seperti berbuat baik dan melaksanakan tanggung jawabnya agar terinternalisasi pada pembentukan pribadi.
Organ manusia yang berfungsi melaksanakan kesadaran normatif ialah hati nurani atau kata hati (conscience). Organ penunjangnya ialah pikiran atau logika. Pendidikan berbasis karakter diprogram untuk upaya kesadaran normatif yang ada pada hati nurani supaya diteruskan kepada pikiran untuk dicari rumusan bentuk perilaku, kemudian ditransfer ke anggota badan pelaksana perbuatan. Contoh, mulut pelaksana perbuatan bicara atau bahasa melalui kata-kata. Maka, sistem mulut memfungsikan kata-kata bersifat logis atau masuk akal. Bahkan, dengan landasan kesadaran norma dan tanggung jawab akan terjadi komunikasi dengan perkataan santun yang jauh dari celaan dan menyakitkan orang lain.
Karena itu, pendekatan proses pembelajaran di sekolah perlu disesuaikan, yaitu dengan menciptakan iklim yang merangsang pikiran peserta didik untuk digunakan sebagai alat observasi dalam mengeksplorasi dunia. Interaksi antara pikiran dan dunia harus memunculkan proses adaptasi, penguasaan dunia, dan pemecahan masalah yang dihadapi dalam kehidupannya. Keberhasilan anak menjalani interaksi dengan dunia akan membentuk kemampuan merumuskan cita-citanya. Bahkan, cita-cita itu dijadikan pedoman atau kompas hidup. Dengan pedoman hidup itu ia menentukan arah sekaligus membentuk norma hidupnya.
Kedua, kondisi sekolah dapat menciptakan iklim rasa aman bagi peserta didiknya (joyful learning). Jika peserta didik tidak merasa aman, seperti merasa jiwa tergoncang, cemas, atau frustrasi akibat mendapatkan pengalaman kurang baik dari sekolah, maka ia tidak akan dapat menanggapi upaya pendidikan dari sekolahnya. Bahkan, ia acap kali merespons upaya pendidikan dengan bentuk protes atau agresi terhadap lingkungannya. Peserta didik yang cerdas sekalipun, dengan merasa kurang aman, acap kali konflik dengan lingkungan yang menyulitkan hidup.
Bahkan, upaya mempertahankan hidupnya dengan berbuat tercela, tidak bermoral, tidak bertanggung jawab, dan jahat. Perasaan aman hidup atau perasaan yang tidak diliputi kecemasan di sekolah hanya mungkin bila suasana sekolah mencintai anak dengan menciptakan iklim keterbukaan, mesra, bahagia, gembira, dan ceria.
Dengan demikian, iklim tersebut akan mampu membuka kata hati peserta didik, baik di sekolah maupun ketika menghadapi dunia masyarakat. Kehidupan nyata dianggap sebagai obyek yang menarik minat dengan kegairahan hidup dan penuh perhatian yang merangsang pikirannya.
Ketiga, kebijakan sekolah dalam merumuskan bahan belajar pendidikan berbasis karakter diorientasikan ke masa depan, yaitu menggambarkan indikasi bentuk baru nilai-nilai peradaban masyarakat. Dasar pertimbangannya adalah (1) proses pembangunan berkonsekuensi terhadap perubahan bentuk baru nilai-nilai kebiasaan hidup masyarakat, (2) pendidikan berbasis karakter harus berperan sebagai pengimbang akibat sampingan proses pembangunan.
Indikator bentuk baru nilai-nilai peradaban masyarakat dimisalkan mengambil rumusan dari hasil pengamatan kehidupan kota yang mengalami pembangunan pesat dan menimbulkan urbanisasi sehingga di kota tercipta pusat permukiman pendatang baru yang seolah terputus dari akar sosial budaya sebelumnya. Permukiman kota yang penuh sesak menimbulkan suasana kehidupan yang mencekam dari kekhawatiran terjadinya instabilitas sosial.


Jurang perbedaan
Selain itu, rumusan didapat dari hasil pengamatan suasana keluarga dalam menghadapi tata kehidupan baru, apakah mengambil sikap bertahan dengan kebiasaan hidup sebelumnya, ataukah meninggalkan dan mengganti kebiasaan hidup sebelumnya (permisif), sementara keadaan sekitar tidak ikut bertahan. Terutama mengambil sikap mengenai kaitan dengan ekonomi keluarga, pekerjaan, perdagangan, dan kecemburuan sosial.
Bagaimana kondisi keluarga yang tetap bertahan, apakah menjadi terasingkan. Bagaimana pula keluarga yang mengubah kebiasaan lama dengan yang baru, apakah secara psikologis memperoleh kemantapan ataukah kepahitan dan kekacauan hidup.
Paling tidak, pengamatan sepintas menunjukkan akibat sampingan pembangunan yang pesat pada perubahan bentuk kehidupan masyarakat. Yaitu, pembangunan yang menawarkan kesempatan bagi siapa saja yang berkesanggupan sehingga mengakibatkan di satu pihak terdapat sebagian anggota masyarakat yang cakap dan berani mengambil risiko untuk menangkap manfaat penawaran pembangunan dan golongan ini akan maju.
Di pihak lain, ada anggota masyarakat yang lamban bergerak dalam menangkap manfaat dan golongan ini akan semakin tertinggal. Hasil akhir antara yang cakap dan lamban menyebabkan munculnya jurang perbedaan kepemilikan materi yang mudah diisukan sebagai pelanggaran asas keadilan.
Jurang perbedaan kemajuan sisi materi yang dipahami secara sempit mengakibatkan terjadinya pergeseran nilai masyarakat. Yaitu, menguatnya arus bentuk baru kehidupan masyarakat seperti nilai materi dan hara-hura serta tampak memudar budaya santun, malu, kekeluargaan, kejujuran, toleransi, kebersamaan, kesetiakawanan, dan gotong royong.


Simber : KOMPAS amis, 25 November 2010 | 11:40 WI

Penderitaan Manusia Kutil dari Sambas ( Tema 4 : Manusia dan Penderitaan )



.












Abdul Hadi, warga Desa Selakau, Kecamatan Pemangkat, Kabupaten Sambas, mengalami kelainan pada bagian tubuhnya karena ditumbuhi bintil besar dan kecil mirip penyakit kutil.
Abdul Hadi yang ditemui di Selakau mengatakan, bintilan itu tumbuh sejak ia berusia belasan tahun. "Saya tak menyangka penyakit ini terus berkembang sampai sekarang," kata dia.
Ia sangat menderita karena penyakit tersebut. Bila digaruk, maka bintil itu akan keluar darah. Oleh karena itu, ia semakin takut dan cemas.
Dia sudah berusaha berobat ke dokter untuk menyembuhkan penyakit anehnya itu. "Tetapi saya hanya diberikan obat sekadarnya oleh dokter," kata Abdul saat ditemui di rumahnya.
Ia pernah diperiksa dokter ahli di rumah sakit. Menurut hasil pemeriksaan, ia menderita penyakit TBC kulit. "Saya tak mengerti penyakit apa itu karena saya orang kampung," katanya. Namun, dia berharap bisa sembuh dari penyakit yang sudah lama dia derita itu.
Keseharian Abdul Hadi diisi dengan bertani. Meskipun sakit, rasa itu tidak lagi dia pedulikan. "Yang terpenting saya bisa menjalankan aktivitas sehari-hari," kata ayah tiga anak yang juga ketua rukun tetangga di lingkungannya.
Warga sekitar, menurut ia, tidak pernah mengejek atau memandangnya rendah. "Warga di sini sudah terbiasa dengan pemandangan di tubuh saya," katanya.
Dia juga tidak merasa rendah diri untuk menjalani hidup sehari-hari. Sementara itu, pemerintah setempat juga belum memberikan perhatian yang serius terhadap penyakitnya. "Saya pasrah saja, semuanya telah terjadi," katanya.

Sumber : Senin, 19 Juli 2010 | 06:21 WIB

Keindahan Bawah Laut Bali Semakin Terancam ( Tema 2 : Manusia dan Keindahan )



.








Beberapa tahun terakhir, tingkat pemutihan karang semakin parah terjadi di Amed, ujung timur Pulau Bali di Kabupaten Karangasem, serta di kawasan Bali Barat (Kabupaten Jembrana dan Buleleng).
Namun, Salah satu indikasi yang digunakan untuk melihat kondisi karang adalah dengan melihat tingkat rata-rata tutupan karang hidup (cover life), hampir di kawasan itu, tingkat rata-rata tutupan karang hidup semakin turun.
Di Amed, misalnya, tahun 1997 -- sebelum peristiwa pemutihan massal akibat El Nino yang terjadi denga sebaran geografis terluas di Samudera Hindia -- tutupan karang hidup mencapai 48,6 persen pada kedalaman tiga dan tujuh meter. Namun, di era tahun 2000 rata-rata tutupan karang hidup di kawasan itu di bawah 15 persen. Kondisi yang mirip ditemui di kawasan Bali Barat. Jika sebelum tahun 1997, rata-rata tutupan karang hidup mencapai 43,5 persen, maka dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir tinggal di bawah 35 persen. Kasus-kasus pemutihan karang ternyata berlanjut dengan kematian, sementara laju pemulihan yang ditandai dengan tumbuhnya koloni baru, berlangsung sangat lambat. Pengaruh suhu yang terus meningkat semakin mengkhawatirkan, terutama melihat dari skalanya yang meluas.

Kondisi bawah laut di Bali semakin terancam akibat abrasi maupun aktivitas manusia, salah satunya penangkapan ikan hias dengan zat kimia. Senada dengan Sudiarta, kerusakan terparah alam bawah laut Bali terjadi di sekitar pusat pariwisata. Sejak lima tahun terakhir, didukung sejumlah perusahaan khususnya yang bergerak di bidang menyelam dan olahraga air di Bali dan Jakarta, Ena mendorong pemeliharaan sekaligus penanaman kembali terumbu karang, khususnya di kawasan perairan Sanur yang memanjang sekitar lima kilometer di timur Denpasar.
Untuk memeringati Hari Bumi, puluhan aktivis lingkungan hidup melakukan aksi bersih laut dan penanaman terumbu karang di Sanur. Para aktivis itu antara lain terdiri dari unsur jurnalis, mahasiswa, pengusaha, instruktur selam, dan wisatawan asing. Mereka mengenakan pakaian menyelam, lengkap dengan peralatannya, melakukan kegiatan itu pada kedalaman sekitar 9 meter sekitar 400 meter dari Pantai Sanur. Tujuannya membersihkan terumbu karang dari sampah-sampah plastik yang menempel dan mengganggu pertumbuhan terumbu karang.
Sementara untuk penanaman terumbu karang, digunakan media sebuah kerangka besi setengah lingkaran (rumpon) dengan diameter 2,5 meter dan tinggi 1,75 meter. Bibit terumbu karang ditempelkan pada kerangka yang bentuknya menyerupai kubah tersebut. Hanya dalam tiga bulan saja, karangnya bisa tumbuh tiga kali lipatnya. Harapannya, kerusakan terumbu karang di bawah laut Bali dapat

Sumber : KOMPAS  Rabu, 23 April 2008 | 04:18 WIB

Rabu, 02 Maret 2011

Aktualisasi Islam Mengalami Reduksi ( Tema 1 : Manusia dan Cinta Kasih )


Rabu, 23 September 2009 | 04:46 WIB





KOMPAS/AGUS SUSANTO
Umat Islam menunaikan shalat Idul Fitri 1430 Hijriah di kawasan Senen, Jalan Kramat Bunder, Jakarta Pusat, Minggu (20/9).

JAKARTA, KOMPAS.com - Aktualisasi Islam sebagai rahmatan lilalamin atau agama yang membawa rahmat dan cinta kasih bagi umat manusia di muka bumi diakui mengalami reduksi, baik bagi pemeluknya maupun orang yang melihatnya.
Bahkan, akibat ketidakpahaman pemeluknya, Islam terkadang juga disimpangkan dan dibajak oleh sekelompok penganut Islam sendiri yang mengklaim sebagai Muslim sejati. Namun, pada saat yang sama, kelompok tersebut justru mempertontonkan tindak-tindak kekerasan yang jelas-jelas melanggar prinsip-prinsip maqashid al syariah dan ajaran Islam yang paling mendasar.
Direktur Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama Mohammad Ali dalam khotbah Idul Fitri 1 Syawal 1430 H di Masjid Istiqlal, Jakarta, Minggu (20/9), menyatakan, selain tereduksi dan disimpangkan, aktualisasi Islam sebagai rahmatan lilalamin juga menghadapi kendala yang cukup serius terkait dengan persoalan krisis identitas.
Khotbah Mohammad Ali itu berjudul ”Ibadah Syaum dalam Mendidik Setiap Muslim agar Menjadi Rahmatan Lilalamin”.
Bertindak sebagai imam dalam shalat itu adalah imam Masjid Istiqlal, Hasanuddin Sinaga. Hadir Presiden dan Ny Ani Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden dan Ny Mufidah Muhammad Jusuf Kalla, sejumlah menteri kabinet, pimpinan lembaga negara, serta duta besar negara sahabat.
Wapres terpilih Boediono menjalankan shalat Idul Fitri di Masjid Al Azhar, Kebayoran, Jakarta.
Kembali ke Al Quran
Sementara itu, Wakil Presiden Persaudaraan Muslim Internasional Prof Dr Musiby dalam khotbah shalat Id di Panti Asuhan Muhammadiyah Tanah Abang, Jakarta Pusat, menyerukan, perayaan Idul Fitri 1430 H seyogianya tak dimaknai sebagai waktu untuk berhura-hura, melainkan momentum untuk kembali ke Al Quran. Sebab, Al Quran memberikan petunjuk bagi umat manusia untuk meninggalkan alam kegelapan menuju alam yang terang.
Shalat Id yang dilaksanakan di halaman dan salah satu ruas jalan raya itu dihadiri ribuan warga dari sekitar Tanah Abang.
”Saat ini hendaknya disadari bersama bahwa hingga dunia kiamat, Al Quran merupakan modal umat Islam. Al Quran adalah sesuatu yang sangat jelas sekaligus sangat rasional bagi manusia,” tutur Musiby.
Menurut dia, ketertinggalan umat Islam dibandingkan dengan umat lain salah satunya disebabkan mulai terkikisnya pemahaman terhadap Al Quran sebagai sumber utama kemuliaan dan keutamaan Islam. Banyak warga Muslim yang terlalu bangga dengan rasionalitas berpikir duniawi tanpa mempertimbangkan nilai spiritualitas, seperti yang diajarkan dalam Al Quran.
”Tak ada gunanya pintar atau hebat bila tidak didasarkan pada Al Quran, wahyu Allah yang berisi nasihat benar. Itulah tuntunan,” kata Musiby.
Lebaran sebagai hari kemenangan setelah selama 30 hari berjuang melawan hawa nafsu hendaknya menjadi momen bagi umat Islam untuk kembali menjadikan Al Quran sebagai rujukan utama dalam mencari petunjuk hidup. Maka, mengamalkan Al Quran akan menjadi kemenangan sesungguhnya umat Islam, lanjut Musiby. (GAL/HAN/REK)