Tak lama lagi, tepatnya pada Oktober 2010, Kepala Polri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri akan memasuki masa pensiun. Sejumlah kandidat mulai muncul dan menjadi wacana publik, siapakah orang yang tepat menjadi kepala Kepolisian Negara RI baru dan mampukah dia memulihkan citra Kepolisian Republik Indonesia?
Pada akhir masa kerjanya, Kapolri saat ini masih meninggalkan banyak pekerjaan rumah. Salah satunya adalah memulihkan kembali citra Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang mulai kehilangan kepercayaan di muka publik karena berbagai permasalahan yang baru-baru ini menerpa, di antaranya kasus Anggodo dan dibukanya kembali kasus Bibit Samad Riyanto-Chandra Hamzah, kasus rekening gendut, penanganan terorisme, serta kasus Susno Duadji.
Setelah berpisah dengan TNI (ABRI) pada tahun 2002, Polri diharapkan menjadi institusi yang lebih profesional, menghormati, dan mengadopsi nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari. Harapan publik juga meninggi agar institusi Polri mampu mengambil peran yang sangat penting dalam ranah penegakan hukum dan menjaga stabilitas keamanan.
Jabatan kapolri tentu merupakan posisi yang sangat penting. Terlebih pasca-Polri langsung di bawah tanggung jawab presiden, posisi kapolri semakin strategis dan diharapkan menjadi komandan bagi institusi kepolisian yang menjadi garda terdepan dalam fungsi penegakan dan perlindungan hukum. Reformasi Polri yang tengah dijalankan masih terbatas pada upaya pembenahan yang bersifat struktural dan instrumental, sementara pembenahan kultural masih sangat jauh dari ideal.
Harapan tersebut setidaknya terjawab oleh beberapa kemajuan yang telah dihasilkan oleh Polri, di antaranya penerbitan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 yang menjadi penanda bahwa institusi ini mulai mengakui dan mewajibkan anggotanya memerhatikan prinsip-prinsip HAM dalam pelaksanaan tugas.
Absennya akuntabilitas
Namun, sepanjang tahun 2009-2010, akuntabilias Polri di mata publik justru semakin menurun. Indikator yang muncul tidak lain berasal dari internal Polri sendiri, di antaranya dugaan terjadinya tindak kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan. Hal yang paling menonjol pada pertengahan tahun ini adalah dugaan korupsi atau dikenal dengan rekening gendut sebagaimana pernah diterbitkan majalahTempo edisi 4 Juli 2010.
Kepercayaan publik semakin terpuruk setelah munculnya kasus Susno Duadji, seorang perwira bintang tiga sekaligus mantan kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) yang sangat menyita perhatian publik berikut media cetak dan elektronik. Susno mulai memunculkan kontroversi publik setelah menyulut ”perang urat saraf” antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selanjutnya dikenal luas oleh publik dengan istilah ”Cicak Vs Buaya”.
Kasus yang kemudian menyeret Bibit-Chandra justru menempatkan institusi Polri pada situasi yang kurang menguntungkan. Publik justru menilai bahwa Polri tidak tegas pada penanganan kasus Anggoro, melalui konsolidasi dunia maya, publik mampu menjadikan kasus ini berdimensi politik, parafacebooker mampu menggalang dukungan untuk penuntasan kasus ini, terlepas benar atau tidaknya dakwaan polisi terhadap pimpinan KPK Bibit-Chandra, jelas publik melihat keganjilan di balik kasus ini.
Di tahun ini, salah satu kinerja Polri yang cukup menonjol adalah penanganan terorisme. Setidaknya, upaya ini patut kita apresiasi, mengingat aksi terorisme menebar kecemasan publik. Salah satu prestasi Polri dalam penanganan terorisme adalah keberhasilan melumpuhkan salah satu gembong teroris yang dianggap paling berbahaya, yaitu Noordin M Top. Namun demikian, cukup disayangkan bahwa Polri masih menggunakan metode kekerasan dan cara-cara yang mematikan untuk melumpuhkan aksi-aksi terorisme. Tidak jarang, Polri menembak para pelaku teroris, bahkan ditengarai terdapat aksi penyergapan yang kurang didukung oleh prosedur hukum yang layak.
Semestinya, meski bentuknya perang melawan terorisme, Polri tetap harus menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM, terlebih khusus adalah hak asasi yang masuk kategori hak yang tidak bisa dikurangi atau non-derogable rights.
Hak-hak, seperti hak untuk hidup, tidak disiksa, dan tidak ditahan secara sewenang-wenang, tentu merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dari manusia, bahkan nilai ini telah menjadi aturan yang diadopsi oleh Pemerintah Indonesia, di antaranya termanifestasi dalam UUD 1945 Pasal 28 huruf I dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.
Selanjutnya, persoalan yang juga menurunkan citra Polri adalah intervensi Polri dalam agenda masyarakat sipil, seperti pembubaran acara oleh pihak kepolisian, ironisnya didasarkan atas paksaan dan permintaan kelompok-kelompok yang mengusung identitas keagamaan dan keyakinan tertentu. Seperti kasus pembubaran ibadah jemaah Gereja HKBP di Bekasi, kemudian pembubaran paksa acara kunjungan kerja sosialisasi Pelayanan Kesehatan dan Kebijakan ketenagakerjaan yang dilakukan oleh Komisi IX bidang kesehatan DPR di Banyuwangi, Jawa Timur, baru-baru ini.
Calon kapolri baru
Di tengah citra Kepolisian Negara Republik Indonesia yang meredup, momentum pergantian kapolri pada Oktober mendatang diharapkan menjadi pemicu upaya mendorong reformasi di tubuh Polri. Tentu tidak hanya itu, harapan publik untuk memiliki Polri yang lebih profesional, menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia, dan mampu menjadi pilar demokrasi adalah tantangan yang harus direalisasikan oleh kapolri baru.
Tentu harapan tersebut tidak berlebihan, mengingat beberapa bagian dalam criminal justice system yang kita miliki saat ini juga mengalami kemerosotan. Institusi kejaksaan dan peradilan saat ini adalah institusi yang paling disorot oleh publik. Berbagai persoalan hukum yang menjerat aparat kejaksaan dan mekanisme peradilan yang tidak efektif untuk menjerat koruptor, pelanggar HAM, dan pelaku kejahatan lainnya tentu menjadi tantangan bagi kapolri baru untuk setidaknya memulai perbaikan kualitas hukum kita, dimulai dari institusi kepolisian.
Namun, publik lagi-lagi harus berharap-harap cemas, hingga saat ini, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang memiliki fungsi untuk melakukan seleksi terhadap calon kapolri belum juga membuka ruang partisipasi publik untuk mengkritisi para calon kapolri yang diusulkan.
Di sisi lain, DPR juga belum menentukan mekanisme uji publik yang terbuka dan melibatkan partisipasi publik. Padahal, partisipasi publik menjadi penting untuk menghindari ruang politisasi, kepentingan terselubung, ataupun politik uang yang mungkin muncul dalam proses ini.
Untuk itu, patut kita tunggu mungkinkah dalam waktu yang tidak lebih dari 1,5 bulan Kompolnas, DPR, dan Presiden RI mampu memunculkan kapolri baru sesuai harapan publik. Mari kita sama-sama nantikan.
*Chrisbiantoro Penulis adalah Anggota Badan Pekerja KontraS
sumber : Selasa, 31 Agustus 2010 | 08:47 WIB
Setelah berpisah dengan TNI (ABRI) pada tahun 2002, Polri diharapkan menjadi institusi yang lebih profesional, menghormati, dan mengadopsi nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari. Harapan publik juga meninggi agar institusi Polri mampu mengambil peran yang sangat penting dalam ranah penegakan hukum dan menjaga stabilitas keamanan.
Jabatan kapolri tentu merupakan posisi yang sangat penting. Terlebih pasca-Polri langsung di bawah tanggung jawab presiden, posisi kapolri semakin strategis dan diharapkan menjadi komandan bagi institusi kepolisian yang menjadi garda terdepan dalam fungsi penegakan dan perlindungan hukum. Reformasi Polri yang tengah dijalankan masih terbatas pada upaya pembenahan yang bersifat struktural dan instrumental, sementara pembenahan kultural masih sangat jauh dari ideal.
Harapan tersebut setidaknya terjawab oleh beberapa kemajuan yang telah dihasilkan oleh Polri, di antaranya penerbitan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 yang menjadi penanda bahwa institusi ini mulai mengakui dan mewajibkan anggotanya memerhatikan prinsip-prinsip HAM dalam pelaksanaan tugas.
Absennya akuntabilitas
Namun, sepanjang tahun 2009-2010, akuntabilias Polri di mata publik justru semakin menurun. Indikator yang muncul tidak lain berasal dari internal Polri sendiri, di antaranya dugaan terjadinya tindak kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan. Hal yang paling menonjol pada pertengahan tahun ini adalah dugaan korupsi atau dikenal dengan rekening gendut sebagaimana pernah diterbitkan majalahTempo edisi 4 Juli 2010.
Kepercayaan publik semakin terpuruk setelah munculnya kasus Susno Duadji, seorang perwira bintang tiga sekaligus mantan kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) yang sangat menyita perhatian publik berikut media cetak dan elektronik. Susno mulai memunculkan kontroversi publik setelah menyulut ”perang urat saraf” antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selanjutnya dikenal luas oleh publik dengan istilah ”Cicak Vs Buaya”.
Kasus yang kemudian menyeret Bibit-Chandra justru menempatkan institusi Polri pada situasi yang kurang menguntungkan. Publik justru menilai bahwa Polri tidak tegas pada penanganan kasus Anggoro, melalui konsolidasi dunia maya, publik mampu menjadikan kasus ini berdimensi politik, parafacebooker mampu menggalang dukungan untuk penuntasan kasus ini, terlepas benar atau tidaknya dakwaan polisi terhadap pimpinan KPK Bibit-Chandra, jelas publik melihat keganjilan di balik kasus ini.
Di tahun ini, salah satu kinerja Polri yang cukup menonjol adalah penanganan terorisme. Setidaknya, upaya ini patut kita apresiasi, mengingat aksi terorisme menebar kecemasan publik. Salah satu prestasi Polri dalam penanganan terorisme adalah keberhasilan melumpuhkan salah satu gembong teroris yang dianggap paling berbahaya, yaitu Noordin M Top. Namun demikian, cukup disayangkan bahwa Polri masih menggunakan metode kekerasan dan cara-cara yang mematikan untuk melumpuhkan aksi-aksi terorisme. Tidak jarang, Polri menembak para pelaku teroris, bahkan ditengarai terdapat aksi penyergapan yang kurang didukung oleh prosedur hukum yang layak.
Semestinya, meski bentuknya perang melawan terorisme, Polri tetap harus menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM, terlebih khusus adalah hak asasi yang masuk kategori hak yang tidak bisa dikurangi atau non-derogable rights.
Hak-hak, seperti hak untuk hidup, tidak disiksa, dan tidak ditahan secara sewenang-wenang, tentu merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dari manusia, bahkan nilai ini telah menjadi aturan yang diadopsi oleh Pemerintah Indonesia, di antaranya termanifestasi dalam UUD 1945 Pasal 28 huruf I dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.
Selanjutnya, persoalan yang juga menurunkan citra Polri adalah intervensi Polri dalam agenda masyarakat sipil, seperti pembubaran acara oleh pihak kepolisian, ironisnya didasarkan atas paksaan dan permintaan kelompok-kelompok yang mengusung identitas keagamaan dan keyakinan tertentu. Seperti kasus pembubaran ibadah jemaah Gereja HKBP di Bekasi, kemudian pembubaran paksa acara kunjungan kerja sosialisasi Pelayanan Kesehatan dan Kebijakan ketenagakerjaan yang dilakukan oleh Komisi IX bidang kesehatan DPR di Banyuwangi, Jawa Timur, baru-baru ini.
Calon kapolri baru
Di tengah citra Kepolisian Negara Republik Indonesia yang meredup, momentum pergantian kapolri pada Oktober mendatang diharapkan menjadi pemicu upaya mendorong reformasi di tubuh Polri. Tentu tidak hanya itu, harapan publik untuk memiliki Polri yang lebih profesional, menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia, dan mampu menjadi pilar demokrasi adalah tantangan yang harus direalisasikan oleh kapolri baru.
Tentu harapan tersebut tidak berlebihan, mengingat beberapa bagian dalam criminal justice system yang kita miliki saat ini juga mengalami kemerosotan. Institusi kejaksaan dan peradilan saat ini adalah institusi yang paling disorot oleh publik. Berbagai persoalan hukum yang menjerat aparat kejaksaan dan mekanisme peradilan yang tidak efektif untuk menjerat koruptor, pelanggar HAM, dan pelaku kejahatan lainnya tentu menjadi tantangan bagi kapolri baru untuk setidaknya memulai perbaikan kualitas hukum kita, dimulai dari institusi kepolisian.
Namun, publik lagi-lagi harus berharap-harap cemas, hingga saat ini, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang memiliki fungsi untuk melakukan seleksi terhadap calon kapolri belum juga membuka ruang partisipasi publik untuk mengkritisi para calon kapolri yang diusulkan.
Di sisi lain, DPR juga belum menentukan mekanisme uji publik yang terbuka dan melibatkan partisipasi publik. Padahal, partisipasi publik menjadi penting untuk menghindari ruang politisasi, kepentingan terselubung, ataupun politik uang yang mungkin muncul dalam proses ini.
Untuk itu, patut kita tunggu mungkinkah dalam waktu yang tidak lebih dari 1,5 bulan Kompolnas, DPR, dan Presiden RI mampu memunculkan kapolri baru sesuai harapan publik. Mari kita sama-sama nantikan.
*Chrisbiantoro Penulis adalah Anggota Badan Pekerja KontraS
sumber : Selasa, 31 Agustus 2010 | 08:47 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar