Sebelum kita beranjak pada perkembangan kebudayaan masyarakat ampel surabaya, terlebih dahulu kita harus mengetahui sejarah awal berdirinya daerah ample. Pada awalnya, daerah ampel merupakan daerah yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit ke pada Sunan Ampel, ia membangun dan mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya.
Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Pesantren Ampel merupakan cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di Tanah Air. Sebab para santri setelah menyelesaikan studinya merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing. Maka didirikanlah pondok-pondok pesantren dengan mengikuti pada apa yang mereka dapatkan di Pesantren Ampel.
Hingga kemudian Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya. Karena adanya kebiasaan dalam melakukan ziarah makam maka seringkali banyak masyarakat yang melakukan ziarah ke makam Sunan Ampel.
Pada umumnya, para penziarah ke makam Islam Sunan Ampel ini berasal dari kalangan Islam Tradisional. Ada yang dari etnis Jawa dan Madura. Sebagian lagi dari Sunda (Jawa Barat), Betawi (Jakarta) dan luar Jawa. Sedang dari kalangan Islam Modern boleh dikatakan tidak ada, bahkan menolak ziarah ke makam Sunan Ampel ini, atau ke makam para wali lainnya di Jawa.
Para penziarah yang jauh, biasanya berombongan dengan sarana transportasi bus. Hal ini merupakan bagian dari penziarahan ke makam wali di tanah Jawa. Mereka terdiri dari beragam golongan; baik lelaki, wanita, anak-anak, remaja, dewasa dan tua yang dipimpuin oleh seorang atau dua orang guru agama, ustadz, tokoh agama atau kyai. Sebagian lain, mereka datang sendirian, baik dari wilayah yang dekat maupun jauh dari makam ini.
Hingga kemudian datang imigran arab yang diperkirakan datang ke negeri ini setelah abad ke 17 M. Mereka tinggal di kantong-kantong pemukiman kota-kota pantai Jawa seperti Cirebon, Pekalongan, Tegal, Semarang, Gresik, Surabaya, Bangil dan sebagainya.
Di antara mereka juga tinggal di kota pedalaman seperti Solo dan Yogyakarta. Sebagian kecil dari mereka bahkan ada yang tinggal di Maluku Utara, seperti Ternate, Tidore, dan juga di NTT dan Timor (dulu Timor-Tomur). Rata-rata mereka datang tanpa istri, kemudian kawin dengan warga setempat dan beranak-pinak.
Di Surabaya, jumlah penduduk keturunan Arab diperkirakan mencapai ratusan ribu orang. Umumnya mereka adalah pedagang dan sebagian kecil ulama dan para pedagang keturunan Arab itu berasal dari Hadramaut, daerah di Yaman Selatan, sebagai pedagang sekaligus menyebarkan Islam. Di Surabaya mereka mendiami wilayah padat di Kota Bawah, kawasan yang dibatasi Kalimas (sebelah barat), Sungai Pegirian (timur), Kembang Jepun (selatan), dan selat Madura (utara).
Sehingga aktivitas perdagangan yang digeluti keturunan Arab dilakukan di sekitar Masjid Sunan Ampel, kerena hal ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh ketokohan Sunan Ampel. Kebanyakan sebab utama masyarakat mendirikan toko karena banyaknya peziarah yang datang ke makam Sunan Ampel.
Meski di sekitar Masjid Ampel ada pedagang Jawa dan Madura, tapi mayoritas adalah keturunan Arab. Mereka terpusat di dua tempat, yaitu Ampel Masjid dan Ampel Suci. Rata-rata para pedagang keturunan Arab di dua tempat ini memiliki toko. Sementara para pedagang Jawa dan Madura hanya bisa berjualan di pinggir jalan dan di sela-sela toko milik para pedagang keturunan Arab.
Adaptasi kultural dan Perubahan Kebudayaan
Kawasan Ampel telah dikenal luas sebagai kawasan yang multikultur. Ada yang mengatakan semenjak Sunan Ampel datang ke Surabaya ini. Sehingga masyarakat Ampel mengelola perbedaan yang ada menjadi suatu potensi yang saling mendukung dan membangun.
Terkait dengan masyarakat Ampel yang multikultur, baik itu berbeda dari Suku, Agama, Ras, dan Alirannya (SARA), pakar komunikasi Universitas Airlangga Surabaya, dra. Rahma Ida, M.Comm, PhD., menjelaskan bahwa telah terjadi sebuah komunikasi yang efektif diantara warga Ampel dalam menerjemahkan hubungan mereka sehari-hari.
Sedangkan untuk mewujudkan hal ini setiap warga mesti memiliki sebuah empati terhadap orang lain di sekitarnya. Sebab dengan empati masyarakat yang damai dan dinamis dapat terbentuk.
Layaknya sebuah harmonisasi, kesenian turut berperan dalm mewarnai masyarakat Ampel. Ada orang yang bilang bahasa musik itu bahasa universal, begitulah kala kesenian Arab seperti musik gambus menjadi ujung tombak dalam memperkenalkan budaya Arab ke masyarakat.
Daya tarik Ampel yang cukup memikat ini dapat menjadi sebuah batu loncatan bagi terwujudnya akulturasi budaya Arab dengan budaya lokal. Sehingga terjadinya beberapa proses akulturasi budaya yang cukup mencolok, seperti perkawinan, perdagangan, hingga pendidikan dapat menjadi sebuah cara untuk menyatukan budaya-budaya yang berbeda.
Akibat dari hal ini, keturunan arab pun tidak hanya menjadi pedagang dan penyebar agama saja, Tetapi setelah tahun 1960-an, profesi mereka mulai beraneka ragam. Ada yang menjadi guru, dosen, pengacara, wartawan, pekerja sosial, bekerja di pabrik atau perusahaan asing dan sebagainya.
Darah asli Arab sudah melebur dalam diri keturunan Arab yang tinggal di perkampungan Ampel yang meliputi Kampung Ampel Mulia, Ampel Kesumba, Ampel Suci, Ampel Cempaka, Ampel Wirai, Ampel Kembang, dan Ampel Masjid Rahmat.
Komunitas keturunan Arab itu telah menjadi arek alias bagian dari bangsa ini karena lahir, besar, dan melakoni kehidupan di negeri ini. Bahkan salah seorang keturunan arab bernama Barmen mengatakan, Saya sudah tidak lagi merasa Arab, begitu juga dengan ketururan Arab Ampel.
Perubahan juga terjadi ketika fenomena label wisata pada makam Sunan Ampel sudah berlangsung sekitar 3 tahun yang lalu. Kebijakan itu mendatangkan banyak pengunjung. Tentu ini menambah keuntungan para pedagang. Ini bisa dijumpai dari gapura sebelum masuk ke kawasan Ampel. Pada papan gapura tersebut bertulisakan “Kawasan Wisata Religi Sunan Ampel”.
Tetapi hal ini tidak bisa mencegah terjadinya hal yang negatif. Sehingga saat ini, banyak sekali para pengunjung yang tidak semuanya bertujuan berziarah ke makam Sunan Ampel. Dulu ketika orang yang mau ziarah itu tampak khusyu dan sopan. Berjalan pelan-pelan langsung ke makam. Tapi saat ini, terutama setelah adanya kebijakan tentang wisata religi, banyak yang hanya lihat-lihat dan atau cari jodoh.
Hal negatif juga terjadi ketika terjadinya persaingan bisnis yang sangat ketat diantara masyarakat kawasan Ampel Surabaya. Hal ini diakui oleh salah satu warga di sekitar ampel, bahkan juga jarang terjadinya kegiatan gotong royong dalam kegiatan kebersihan di kawasan ampel, sehingga kegiatan kebersihan ini dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya.
Sumber : http://www.psikologizone.com/perkembangan-budaya-masyarakat-ampel-surabaya
Sumber : http://www.psikologizone.com/perkembangan-budaya-masyarakat-ampel-surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar